Kontemplasi disway.id
- al
- Oct 21, 2019
- 3 min read
Satu hal yang paling saya sukai dari Dahlan Iskan, adalah militansi menulisnya.
Sederet prestasi beliau dari wartawan biasa lalu menjadi pemimpin Jawa Pos, kemudian direktur utama pertamina, dan kemudian meteri BUMN. Sekarang entah beliau sedang menggeluti bisnis apa saja, tapi yang saya paling suka adalah beliau memutuskan untuk menulis lagi, dari hati.
Mungkin menjadi sedikit aneh saat teman-teman lainnya terinspirasi dari penulis sebaya, muda, millenial. Yang tulisannya ringan bisa di scroll di Instagram dengan background eyecatching, bisa didengar podcastnya. Berpuitis dengan rima, yang senja dan kopi tidak pernah absen di dalamnya. Saya juga suka, tapi sekadarnya.
Justru, setiap pagi saya harus setor aktivitas baca blognya disway.id. Dan dari beliau saya tahu seluk beluk kejadian dunia, energi terbaharu, ekonomi, artis, perang dagang, dan mengikuti apa yang terjadi di Hongkong sana--demo pemecah rekor dan di awali oleh cerita Ibu hamil itu.
Di dalam blognya, saya lebih seperti mengikuti kegiatan harian beliau, mengintip apa yang beliau lakukan, peristiwa apa yang beliau alami, juga belajar mengenai pemikiran-pemikiran baru yang sangat menambah pengetahuan tentang dunia professional, secara nyata.
Di kolom komentar mayoritas adalah para senior yang memanggil beliau dengan sebutan Abah. Namun bagi saya Dahlan Iskan itu seperti sosok Habibie. Eyang kakung yang cerdas dan mau mengajari pun berbagi nilai kehidupan. seperti cucu yang menatap kagum eyangnya ketika sedang berbicara hal-hal hebat di luar sana, saya tidak pernah bosan justru menyenangkan dan ada rasa tertantang yang terslip dalam benak. Ketika saya membaca buku fenomenal tentang finance milik Robert Kiyosaki, dalam benak saya muncul beliau dan ingin menjadikan sosok Dahlan Iskan sebagai mentor Rich Dad saya.
Bagaimana beliau belajar dari nol hingga menjadi sekarang ini. Mungkin diluar sana banyak juga pengusaha, tapi saya sudah kadung kepincut dengan karakter beliau. Dan yang terpenting, beliau juga menulis.
Kemampuan yang sebenarnya membuat saya iri dan berharap suatu hari nanti bisa memilikinya atau bahkan bisa menandinginya adalah menulis. Menulis setiap hari dengan konsisten. Terbit pada pukul 4 pagi. kapanpun, dimanapun, dalam kondisi cuaca apapun. Di benua Amerika, di pelosok daratan Tiongkok, hingga benua Eropa. Akankah saya bisa?
Diperlukan konsistensi yang luar biasa. Saya tahu kemampuan itu tidak beliau miliki dalam satu malam. Perlu pengalaman dan tekanan yang hebat untuk bisa memenuhi target seperti itu, seperti dunia koran. Itulah kelemahan saya yang hidup di era digital dan tidak mengenal budaya koran lagi. Jaman sekarang kami hanya membaca artikel yang kami sukai. Bebas memilih membaca artikel satu dua saja sesuai topik viral minggu itu. Berbeda dengan budaya koran, apabila tidak di baca banyak-banyak maka rugi sudah membelinya.
Makanya kebanyakan sekarang orang yang mencoba menulis menemui tantangan yang berat dalam hal konsistensi. Menulis hanya tergantung suasana hati, keadaan yang mendukung, momentum, waktu, dan sederet alasan lainnya. Terlalu banyak syarat yang dibuat-buat. Padahal jaman sekarang justru era nya untuk tidak perlu ribet. Tapi memang, di tengah kemudahan jaman ini malah justru seperti boomerang yang menyerang balik. Ya karena terlalu enak tadi, jadi terlena.
Atau berhenti di tengah-tengah, dan tidak kembali lagi untuk menyelesaikan. Menambah tumpukan draft. Sering terjadi, bahkan saya juga mengalami dalam menulis ini. Saya mengalami kebingungan dalam membuat aliniea penutup. Tulisan ini salah satu manifetasi bentuk kekaguman saya terhadap Dahlan Iskan, yang selalu “WOW” itu.
Tapi yasudahlah, tidak ada yang sempurna. Lebih baik tetap kerja, kerja, kerja yang berguna. Semoga Abah Dahlan Iskan selalu diberi kesehatan yang berkah. Semoga saya dapat meneladani beliau dengan sebaik-baiknya. Sehingga kelak dapat berbuat dan meninggalkan bekas yang baik kepada bangsa dan sesama,
atau kepada perikemanusiaan seluruhnya.

Comments