Nasihat Albert Camus
- al
- Feb 10, 2020
- 5 min read
Lagian siapa sih yang mau diberi sakit. Semua orang kalo bisa milih pasti ya enggak mau sakit kalik, pikirku. Tapi ada lhoo yang merasa bangga ketika dia sakit karena supaya dapat perhatian lebih.
Sejujurnya aku jarang sakit, juga merasa nggak tahan sakit. Aku pribadi tipe yang kayak gitu kadang-kadang, syaratnya harus sama keluarga sendiri, atau orang yang paling enggak deket banget sampe udah aku anggap kayak keluarga. Kalo nanti ada di antara kalian yang mendapatiku seperti itu, berarti tandanya itu spesial. Ada tempat tersendiri di hatiku. Karena hanya pada mereka yang aku benar-benar percayalah yang bisa aku tunjukkan kelemahanku itu.
Lucu ya. Manusia punya intensi untuk tidak mau dilihat lemah, padahal hakikatnya manusia itu memang mahluk yang lemah.
Jadi aku menulis ini alih-alih meneruskan skripsiku, ya harapannya supaya bisa melupkan rasa sakit perutku ini. Karena enggak keren sama sekali meringkuk di meja pojokan, menahan perut yang perih, curi-curi buat jongkok di kursi pula.
Hari ini makan ku berantakan, padahal hari-hari sebelumnya juga sih. Hanya saja aku baru makan satu kali, terlalu siang untuk sebuah sarapan dan terlalu dini dibilang makan siang. Dan aku nyoba mie dengan artis si won yang pedas itu, variasi baru dan ngetrend. Lalu mie super pedas itu masih aku tambahin makaroni ngehe, yang baru kesampaian aku beli kemarin, karena saking ngidamnya. Sebenarnya aku lupa kapan terakhir aku makan itu, hanya saja waktu kkn aku terbayang cemilan yang ada di jogja, saat mau berangkat ke Bangkok pun juga belum kesampaian. Walhasil aku harus di hantui selama 6 bulan kemudian dan baru bisa beli setelah menyelesaikan kkn ku yang kedua. Jadi yaa, aku tidak makan lagi sampai malam, setelah membeli buku hasil janjian dengan felia. Sampai di kafe pun aku langsung memesan apapun yang ada nasi nya.
Dannn seakan butuh waktu bertahun-tahun menunggunya. Setengah jam lebih untuk nasi dan telur goreng, selama itu aku harus menahan perih. Dan kafe ini semi outdoor jadi banyak yang merokok. Aku tidak suka dan tidak tahan dengan asap rokok. Bagus.
Dan aku hanya bisa menahan. Lalu ketika makanan datang perutku pun sudah protes menolak. Aku muntah, berkali-kali.
Di tambah malam ini hujan deras, dingin sekali hanya dengan cardigan tipis. Rencana kami mampir makan sebentar pun harus tertahan. Dan parahnya banyak orang yang kami kenal di kafe ini, jadi sepanjang aku menulis ini--selain distraksi ku dari rasa perih asam lambung yang naik--adalah supaya aku terhindar dari menyapa dan basa-basi.
Jangan salah, aku suka bertemu orang, tapi tidak ketika aku sedang menahan rasa sakit. Jadi ya aku menyapa balik seperlunya dan mebiarkan mereka mengobrol dengan felia. Itu lebih baik bagi semua pihak. Aku tidak ingin muntah lagi. Aku hanya butuh menahan ini sampai hujan reda lalu pulang dan meringkuk dalam selimut hangatku.
Ngedengerin obrolan felia sama mas hiks semakin seru di depanku. Makin pusinggg, aku mau kamar dan selimut ku yang aman. Oke kembali nulis aja.
Aku selalu merasa kesulitan mencari penutup tulisan yang pas, maka banyak sekali tulisan-tulisan yang mangkrak, tersimpan, berkarat, lalu lupa. Lucunya manusia itu--mereka mendamba kesempurnaan tapi hakikatnya manusia istimewa karena dia bukan mahluk yang sempurna. Jadi aku akhiri dengan bertanya pada barista kafe ini,
“mbak punya obat magh ndak?”
dan langsung di sambar oleh felia ketika hasilnya nihil
“lu kata ini warung, fi!”
Paling tidak manusia di cintai Tuhan karena mereka berdaya untuk mencoba, berusaha.
Dengan ini aku meringis dan pegang perut saja dengan obrolan seru anak soshum di depanku yang sambil sebats. Felia, Gendis, dan Mas Hiks: teman-temanku, legenda hidup pergerakan mahasiswa di kampus.
Perih bangettt, aku mual-mual lagi. Asap rokoknya, semojok apapun mejaku tetap aja kecium dari atmosfernya, dan hujannya semakin lebat, deras sejadi-jadinya.
Oke. Bear with it, girl!
Tidak ada yang cukup dekat lagi di sini yang aku bisa menangis sejadi-jadinya, merengek, dan menumpahkan semua lemahku. Untuk itu aku harus bertahan. Percaya, aku cukup berdaya sampai nanti aku sampai ‘rumah’ lagi. Entah dalam artian yang sebenarnya atau kiasan untuk suasananya. Aku memang berencana pulang kampung dalam minggu ini. Dan untuk suasananya, aku percaya akan terus ada kesempatan baik lagi di depan nanti. Pasti.
Kemarin lusa aku pernah membuat highlight di ig story, tentang rumus kak Aida Azlin 2:1 dari Q.S Insyirah ayat 5-6. Intinya adalah ketika ditimpa suatu kesulitan lakukan permainan kecil dengan diri sendiri—bukankah kita semua suka bermain. Hitung satu kesulitan dan hitung minimal 2 kebaikan yang di dapat. Ini bukan toxic positivity, tapi lebih melatih diri kita untuk bersikap rasional dan mengalihkan emosi kita dari satu hal negatif itu.
Ngomong memang lebih mudah daripada bertindak. Pun menulis lebih gampang dari melakukannya. Jadi aku coba sedikit tapi pasti untuk menghargai diriku sendiri dengan cara menerapkannya.
Jadi hujan reda sekitar jam setengah dua—sudah lama tidak pulang selarut ini. Senang bisa ketemu felia lagi, hujan memberi kesempatan kami untuk merapel waktu-waktu setengah tahun nggak ketemu. Dan aku merasa enggak pernah rugi ketika menghabiskan waktu dengan orang-orang yang se-frekuensi. Banyak hal yang jadi insight. Juga ketidak sengajaan bertemu dengan teman-teman lama lainnya. Syukur bisa menyambung pertemanan lagi. 6 bulan bertemu dengan berjuta perbedaan membuat aku lebih pandai memfilter sekarang. Sungguh aku senang tidak menjadi sebegitu bingung lagi dengan afeksi dunia yang begitu banyak.
Aku sudah lebih mengenal dan menerima diriku sekarang ( I fought hard to reach this stage tho).
Tahu kan do’a ketika hujan?
Aku maupun felia sama-sama nggak tau apa do’a untuk menghentikan hujan. Maka tadi kami baca do’a itu bareng-bareng.
Dan ya, meski hujan terus konstan derasnya, ternyata bukan hanya lingkungan dan ekosistem yang dapat manfaatnya.
Hujan membuatku ada progress yang berarti dengan skripsi. Hujan juga membuatku menemukan payung berharga ku yang aku kira sudag hilang selamanya.
Aku ingat terakhir kali ke kafe ini sepertinya jauh sebelum berangkat ke Aceh untuk KKN. Ada janji bertemu di kafe itu dengan kakak tingkat. Aku membawa 2 temanku untuk menemani. Payung itu pasti aku bawa saat itu. Payung kenangan dari souvenir gala dinner di keraton dulu saat ulang tahun UGM, saat masih jadi sesuatu. Satu-satunya mahasiswa di forum penting khusus untuk pak Menteri dan manusia langit lainnya. Yang parkir mobilnya adalah mobil sport dan Alphard. Untung aku punya untuk pesan go-car ketika itu, jadi ya masih boleh lah.
Hujan memberi waktu untukku mencerna obrolan kami tadi, juga apapun yang terlintas di kepala.
Aku sekarang ingat kata Ust. Syatori kemarin, dunia hanyalah lembah tandus dan kering, kecuali saat kita menyiraminya dengan suasana akhirat.
Semakin jauh aku berpetualang, semakin beragam macam manusia yang aku temui, semakin membenarkan bahwa dunia bukan akhir. Semakin jelas hakikatnya akhirat yang menjadi kampung halaman yang sebenar-benarnya.
Ada yang bertanya kepada Beliau,
“kenapa di Al fatihah kita terus memohon di jalan yang lurus ustad? Apakah kita ini sedang berada di jalan yang tidak lurus?”
Dan beliau menjawa dengan lugas,
“selamanya kita butuh hidayah, sampai kapan? Sampai mati.
Karena hidayah itu bertingkat-tingkat. Karena orang yang sudah merasa tidak butuh lagi hidayah itu justru lebih menakutkan.”
Dititik ini aku sadar jika harus jujur pada diri sendiri, pada akhirnya harapan ku sekarang ini lebih bersifat duniawi daripada mengejar ridha Allah.
Lalu bagiamana menghindarinya? Kata ustadzah Yasmin Mogahed dalam bukunya 'Reclaim Your Heart',
ini berarti bila kita memiliki teman, jangan mengharapkan teman kita untuk memenuhi kekosongan kita. Bila kita menikah nanti, jangan mengharapkan pasangan kita untuk memenuhi setiap kebutuhan kita. Bila seorang aktivis, jangan menaruh harapan dalam hasil. Bila kita sedang dalam kesulitan, jangan bergantung pada diri sendiri. Jangan bergantung pada manusia. Bergantung ya pada Allah.
Kata Mas Hiks mengutip dari penulis besar perancis, Albert Camus dalam pendangan dia terhadap kesalahan perancis ketika berusaha menggenosida masyarakat Algera (Aljazair), bahasanya sulit—tapi pesannya mudah di ingat:
Intinya kita harus ikhlas.
Comments