top of page

try to put yourself in their shoes

  • Writer: al
    al
  • Nov 16, 2019
  • 5 min read

Ok. Ternyata Alfi bukanlah orang yang pinter ngarang. Terbukti selalu susah buat ngarang.

Jadi aku mau nulis apa yang aku alamin, pikirkan, dan bagaimana sudut pandangku terhadapa sesuatu.


Sebuah langkah kongkrit ketimbang sambat terus sama kemampuanku yang nunggu mood ketika lagi stuck nulis, which is everytime haha. Nggak lucu. Suka bikin pen nangis malah.

Buat kamu siapa aja yang baca ini, beruntunglah. Beruntung apa, aku nggak tau pasti, yang bisa merasakan dampaknya kan kamu. Cuman aku doain semoga ada yang baik dan bisa di ambil hikmahnya.


Ok. Jadi aku mau cerita dari mana aku bisa memulai segala aktivitas ini. Tapi karena ku merasa laptopku ini ngambek karena aku yang memperlakukannya dengan nyebelin. Aku mau refresh dulu bentar ya.


Sudah. Dan sempet asyik ngintip novelnya Nicholas Sparks juga. aku suka kagum sama penulis yang nerbitin buku sampe belasan bahkan puluhan, gimana ya cara mereka melakukannya trus gimana cara memelihara koneksi sama keluarga dan lingkungannya. Heran. Nulis satu aja apapun itu aku ga kelar-kelar. Rasanya amat musthail kalo nulis itu jadi mata pencaharian utama. Tapi entah mengapa aku tetep pengen itu.


Aku tidak pernah mendaulat diriku anak bahasa, sastra, apalagi nyeni.

Imma null. Seni nggak pernah mau hinggap didarah maupun lingkunganku.

I just like reading. Suka baca aja, apalagi yang ada alurnya. Dan moral valuenya dapet. Hingga suatu saaat aku juga pengen nyiptain karya yang ada alurnya dan valuenya sekaligus itu.


Aku juga baca karya fiksi ilmiah. It’s good tho. But sometimes I can’t relate them. The value is also good. Aku juga baca novel roman picisan, tapi kadang suka males kalo kebanyakan konflik menye-menye dan minim value yang bisa diteladani.


Aku juga baca buku self-development dari yang versi dakwah, note to myself, sampe karya-karya beken dari orang luar. But ya itu, kalo nggak ada tokoh dan alurnya suka lama dan gampang lupa.


Ini pukul 23.59 dan aku mau mulai kaizen ku ini untuk nulis something. Ya dari nothing semoga jadi ada something yang bisa didapet dari ini.


Oke jadi hari ini aku ada kelas business and tourism, awal aku ambil kelas ini karena tertarik sama judulnya dan pengen belajar giman tourism di Thailand terutama Bangkok ini bisa jadi salah satu destinasi paling laris di dunia, dan aku punya impian terpendam buat bikin wisata berbasis alam dan agro gitu kelak. Sekalian biar bisa gardening, investasi, juga refreshing buat diri sendiri. Sekaligus buat grateful ke alam, makanya juga mau merawat tipis-tipis bumi ini. Itu idealitasnyaa.


But ternyata semboyan “don’t read book by it’s cover” itu bukan buat nyari jodoh aja tapi buat semuanya. Kelas ini isinya adalah anak Thailand program international. Kebanyaan anak horang kaya yang kelebihan duit dan aku ngeliatnya mereka nggak terlalu care sama pendidikan mereka. Kenapa bisa dibilang begitu? Karena sejak awal masuk kelas aku suka observasi kan, mereka ini datengnya seenaknya sendiri. Telat, bawa makanan, seringnya sih nenteng kopi merek terkenal itu. Iya ada starbucks di depan fakultas ekonomi ini. Terus dandanannya kayak gitu; dandanan dan pakaian orang kaya. Bermerek semua. But aku nggak lihat itu keren sih, karena ada beberapa yang wajah dan tingkahnya itu nggak menyakinkan tapi kostumnya beuh bermerek semua, Gucci gang lewat. Kalo aku sih ngeliatnya wagu, karena ya pergaulanku bukan di ranah yang kayak gini. So it’s my first time to enter this kind of circle.


Dulu ku pernah berdoa sama Allah. Kalo aku tuh kadang jenuh sama lingkunganku yang itu-itu aja—bukan karena mereka nyebelin atau apa. Beneran aku sayang sama semua teman-temanku. Bersyukur banget dipertemukan segala jenis macama kalian. But ya butuh suasana baru aja sejenak--trus mau ada temen yang IUP atau lingkungan international gitu. Bukan apa, cuman aku pengen memperluas wawasan dan sudut pandang aja sih. Gimana ngebentuk pikran yang open minded dan bisa nerima hal-hal yang diluar dari jangkauan hidupku selama ini dengan lebih lapang dada. Kan baca atau liat dari luar itu seringkali nggak cukup. Makanya sekali-kali pengen gitu punya lingkungan yang beda dari biasa aku hadapin sehari-hari.


Dan ternyata Allah sebegitu baiknya. Saat aku lupa udah pernah minta itu akau di kasih rejeki dengan exchange ini yang menuntut aku untuk berbaur dengan kelas IUP di Thailand. Aku kan studinya tentang agribisnis. Nah kebanyakan di Indonesia itu masuknya fakultas pertanian yang demi apapun aku seneng karena lingkungan lebih merakyat dan affordable. Kalo di Thailand ini beda, jadi aku kalo belajar masuknya fakultas ekonomi.


Jadilah Alfi kedampar di FE sendirian, temen-temen seprogramnya di fakultas pertanian semua. Ini kudu bersyukur sekaligus nyebut banyak-banyak sih. FE kan gudangnnya anak berduit semua. Anak IUP nya lebih banyak dan beragam.

Aku ngelihat tingkah orang kaya sehari-hari disini itu bikin geli, miris, dan terheran-heran.

Apa yang di tampilan di luar nggak selalu selaras sama isi dalam kepala.


Eitss. It’s not to ngejudge ya khalayak, ini buat diambil pelajarannya.

Jadi yang aku ambil pelajaran disini adalah dari sudut mana kita memandang. Always try to put yourself in their shoes. Yang kalo aku nyoba pasti sepatunya bakal kegedean banget.

Kayak kata dosen tamu ku tadi, beliau adalah pramugari. Dulunya lulusan perawat. Sekarang udah jadi wanita career di bidang penerbangan dan suaminya pilot. Dia cantik, jelas. Personalitinya bagus, tapi menurutku she’s trying to attract too much. Mungkin itu juga dampak dari profesinya yang harus kayak model itu kali ya. Menarik perhatian orang.

Di antara lecture tentang penerbangan dan jelas yang merhatiin sangat sedikittt sekali, dia ngajarin moral lesson yang bagus untuk survive di dunia kerja kedepan. Sebenernya bisa di aplikasiin untuk semua juga sih.

Yakni tentang sudut pandang.


Ada sebuah adegan yang di contohkan beliau sendiri dengan Marco temen crazy rich ku dari Taiwan itu.


Kalo kita coba memberikan gelas cangkir ke temen kita dengan pegangan menghadap dia. Pasti temen kita itu akan memberikan reaksi yang salah menurut kita. Karen kita memegang gelas yang tidak ada pegangannya. Dan temen kita akan menerima dengan memegang gagangnya. Pasti dari sudut pandang kita, si teman ini berbeda caranya memegang gelas tersebut. Lalu apakah teman kita salah dengan memegang melalui pegangan gelas itu? Apa kita juga salah karena memegang bukan lewat gagangnya?

Jawabannya tidak ada yang salah kan, karena sama-sama gelas itu untuk di pegang agar tidak jatuh dan pecah. Yang berbeda hanya cara dan sudut pandang kita melihatnya.

Jadi apa yang sebenarnya membuat dunia ini kadang begitu riuh runyam dengan berbagai persoalan, yang sebenarnya masih ada banyak persolalan lainnya yang jauh lebih kongkrit untuk di urus.


Ya. Kita lupa untuk menempatkan diri kita di posisi orang lain. Dari situ akan muncul perbedaan, salah paham, dan jika diteruskna bisa berbuntut perseteruan, tubir, dan rentetan hal negative lainnya.


Semakin dewasa kita, pasti pengalama hidupnya bertambah. Semakin banyak orang-orang yang kita temuin. Peristiwa yang kita alamin. Enggak ada manusia yang hidupnya seneng terus. Pun enggak ada manusia yang hidupnya sedih terus juga kan. Pait ,manis, getir, asem hidup pasti sudah pernah di alamin oleh setiap manusia.


Tapi karena semakin dewasa dan banyak hal yang sudah kita alamin itu, kita juga makin gampang lupa. Karena ingatan satu akan tertimbun sama yang lain hal.


Makanya aku mau mengikat pelajaran hidup yang berharga dengan menulis ini.

Karena pelajaran ini bisa menjadi langkah nyata kita untuk ikut membuat bumi ini lebih nyaman untuk di tiggali bersama.


Always try to put yourself in their shoes.


Jangan lupa buat menempatkan diri kita di posisi orang lain. Ok.


16 November

Main cafetaria, Bangkok. 00.28.

 
 
 

Comments


Post: Blog2_Post

©2019 by alfiyatullaeli. Proudly created with Wix.com

bottom of page