untuk membuat bumi ini lebih nyaman untuk di tiggali bersama
- al
- May 9, 2020
- 4 min read
Updated: May 11, 2020
Oke jadi hari ini aku ada kelas business and tourism, awal aku ambil kelas ini karena tertarik sama judulnya dan pengen belajar giman tourism di Thailand terutama Bangkok ini bisa jadi salah satu destinasi paling laris di dunia, dan aku punya impian terpendam buat bikin wisata berbasis pertanian dan alam versi Indonesia menduanianya kelak. Sekalian biar bisa gardening, investasi, juga refreshing buat diri sendiri. Sekaligus buat grateful ke alam, makanya juga mau merawat tipis-tipis bumi ini. Itu idealitasnyaa.
But ternyata semboyan “don’t read book by it’s cover” itu bukan buat nyari jodoh aja tapi buat semuanya. Kelas ini isinya adalah anak Thailand program international. Kebanyaan anak literally horang kaya yang kelebihan duit dan aku ngeliatnya mereka nggak terlalu care sama pendidikan mereka. Kenapa bisa dibilang begitu? Karena sejak awal masuk kelas aku suka observasi kan, mereka ini datengnya seenaknya sendiri. Telat, bawa makanan, seringnya sih nenteng kopi merek terkenal itu. Iya ada starbucks di depan fakultas ekonomi ini. Terus dandanannya... But aku nggak lihat itu keren sih, karena ada beberapa yang wajah dan tingkahnya itu nggak menyakinkan tapi kostumnya beuh bermerek semua, Gucci gang lewat. Kalo aku sih ngeliatnya wagu, karena ya pergaulanku bukan di ranah yang kayak gini. So it’s my first time to enter this kind of circle. Back off you who doesn't get my sarcasm.
Dulu ku pernah berdoa sama Allah. Kalo aku tuh kadang jenuh sama lingkunganku yang itu-itu aja—bukan karena mereka nyebelin atau apa. Beneran aku sayang sama semua teman-temanku. Bersyukur banget dipertemukan segala jenis macam mereka. But ya butuh suasana baru aja sejenak--trus mau ada temen yang IUP atau lingkungan international semacam itu. Bukan apa, cuman aku pengen memperluas wawasan dan sudut pandang aja sih. Gimana ngebentuk pikiran yang open minded dan bisa nerima hal-hal yang diluar dari jangkauan hidupku selama ini dengan lebih lapang dada. Kan baca atau liat dari luar itu seringkali nggak cukup. Makanya sekali-kali pengen gitu punya lingkungan yang beda dari biasa aku hadapin sehari-hari. and it did happend.
Dan ternyata Tuhan sebegitu baiknya. Saat aku lupa udah pernah minta itu aku dikasih rejeki dengan exchange ini yang menuntut aku untuk berbaur dengan kelas IU, tapi di Thailand. Aku kan studinya tentang agribisnis. Nah kebanyakan di Indonesia itu masuknya fakultas pertanian yang demi apapun aku seneng karena lingkungan lebih merakyat dan affordable. Kalo di Thailand ini beda, jadi aku kalo belajar masuknya fakultas ekonomi.
Jadilah me anak kampung ini kedampar di FE salah satu ivy league-nya Thailand sendirian, temen-temen seprogramnya di fakultas pertanian semua. Ini kudu bersyukur sekaligus nyebut banyak-banyak sih. FE kan gudangnnya anak berduit semua. Anak IUP nya lebih banyak dan beragam.
Aku ngelihat tingkah orang kaya sehari-hari disini itu bikin geli, miris, dan terheran-heran.
Apa yang ditampilan di luar nggak selalu selaras sama isi dalam kepala.
Eitss. It’s not to ngejudge ya khalayak, ini buat diambil pelajarannya.
Jadi yang aku ambil pelajaran disini adalah dari sudut mana kita memandang. Always try to put yourself in their shoes. Yang kalo aku nyoba pasti sepatunya bakal kegedean banget.
Kayak kata dosen tamu ku tadi, beliau adalah pramugari. Dulunya lulusan perawat. Sekarang udah jadi wanita career di bidang penerbangan dan suaminya pilot. Dia cantik, jelas. Personalitinya bagus, tapi menurutku she’s trying too much that you know it's not going well in the class. Mungkin itu juga dampak dari profesinya yang harus kayak model itu kali ya. Menarik perhatian orang. But this class it's not runaway.
Di antara lecture tentang penerbangan dan jelas yang merhatiin sangat sedikittt sekali, dia ngajarin moral lesson yang bagus untuk survive di dunia kerja kedepan. Sebenernya bisa di aplikasiin untuk semua juga sih.
Yakni tentang sudut pandang.
Ada sebuah adegan yang di contohkan beliau sendiri dengan Marco temen love-hate ku dari Taiwan itu.
Kalo kita coba memberikan gelas cangkir ke temen kita dengan pegangan menghadap dia. Pasti temen kita itu akan memberikan reaksi yang salah menurut kita. Karena kita memegang gelas yang tidak ada pegangannya. Dan temen kita akan menerima dengan memegang gagangnya. Pasti dari sudut pandang kita, si teman ini berbeda caranya memegang gelas tersebut. Lalu apakah teman kita salah dengan memegang melalui pegangan gelas itu? Apa kita juga salah karena memegang bukan lewat gagangnya?
Jawabannya tidak ada yang salah kan, karena sama-sama gelas itu untuk dipegang agar tidak jatuh dan pecah. Yang berbeda hanya cara dan sudut pandang kita melihatnya.
Jadi apa yang sebenarnya membuat dunia ini kadang begitu riuh runyam dengan berbagai persoalan, yang sebenarnya masih ada banyak persoalan lainnya yang jauh lebih kongkrit untuk di urus.
Ya. Kita lupa untuk menempatkan diri kita di posisi orang lain. Dari situ akan muncul perbedaan, salah paham, dan jika diteruskan bisa berbuntut perseteruan, tubir, dan rentetan hal negative lainnya.
Semakin dewasa kita, pasti pengalaman hidupnya bertambah. Semakin banyak orang-orang yang kita temuin. Peristiwa yang kita alamin. Enggak ada manusia yang hidupnya seneng terus. Pun enggak ada manusia yang hidupnya sedih terus juga kan. Pait ,manis, getir, asem hidup pasti sudah pernah dialamin oleh setiap manusia.
Tapi karena semakin dewasa dan banyak hal yang sudah kita alamin itu, kita juga makin gampang lupa. Karena ingatan satu akan tertimbun sama yang lain hal.
Makanya aku mau mengikat pelajaran hidup yang berharga dengan menulis ini.
Karena pelajaran ini bisa menjadi langkah nyata kita untuk
Always try to put yourself in their shoes.
Jangan lupa buat menempatkan diri kita di posisi orang lain. Ok.

16 November
Main cafetaria, Bangkok. 00.28.
Comments